Jumat, 15 Juli 2011

Postulat Cinta

Pendahuluan
Cinta, selama ini adalah teka-teki bagi umat manusia sepanjang zaman. Didalam cinta terdapat lautan misteri yang menjadi energi kreatif bagi manusia untuk menciptakan puisi, film, lagu atau bahkan peristiwa fenomenal yang mengugah perasaan. Entah berapa baris puisi, berapa judul film, berapa bait lirik lagu, berapa kuntum bunga, berapa batang coklat, berapa lembar karcis bioskop, berapa rupiah untuk KUA, dan sekian banyak “berapa-berapa” lainnya yang pernah ada dibumi dikarenakan oleh energi positif oleh cinta.
Akan tetapi disisi lain, kegagalan bercinta justru menjadi energi negatif yang merusak. Manajemen cinta adalah kata kuncinya, semoga dilain waktu kami dapat membahas hal tersebut secara mendalam. Cinta yang tidak termanajemen dengan baik dapat memunculkan kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, bunuh diri, kejombloan akut dan berbagai hambatan lainnya.
Di dalam sangkar emasnya, cinta seakan tak terpahami oleh rasio, tak tersentuh oleh nalar. Bagi para pengagumnya, cinta mengalami sakralisasi. Akibatnya adalah, cinta telah menjadi mitos atau sejenis berhala yang membuat manusia kehilangan rasionalitasnya. Jika manusia telah menjadi penyembah cinta maka akan mengalami kegamangan hati dan kekeringan jiwa. Hubungan kausalnya kemudian adalah berefek pada wilayah psikomotorik.

Landasan Epistemologis
Dalam tulisan ini, kami mencoba menguraikan cinta secara ringkas dan membuat postulat cinta berdasar hipotesis, pengamatan, pembuktian, pengujian secara ilmiah. Adapun landasan epistemologis yang kami gunakan antara lain, wahyu cinta dari perenungan kisah asmara, silogisme rasional premis cinta, serta pengamatan empirikal subyek pecinta. Artinya, landasan epistemologisnya serta proses pengujiannya tergolong sahih. Berikut ini kami paparkan landasan epistemologisnya satu persatu.

Idealisme platonian
Berangkat dari idealisme platonian yang berasumsi bahwa pengetahuan pada dasarnya pengingatan kembali, maka kami mencoba menarik dari wilayah normatif filosofis ke wilayah romantisme merah jambu. Pengetahuan tentang kesadaran bercinta, pada dasarnya “pengingatan kembali” atas kisah manis serta kelabu masa lalu. Hal ini kami sebut sebagai “perenungan kisah asmara”. Dari perspektif lain, kita bisa menyebut sebagai “hikmah” atas kejadian masa lalu.
Sebelum melangkah pada landasan epistemologis kedua yakni silogisme rasional premis cinta, maka kami terlebih dahulu membahas tentang Teori Kesadaran Freire yang dikawinkan dengan dasar-dasar cinta.
Freire membagi tiga tingkatan kesadaran manusia, pertama kesadaran mistis. Kedua kesadaran naif dan ketiga kesadaran kritis. Dalam bercinta, teori Freire ini dapat diselaraskan dengan, pertama cinta mistis. Kedua cinta naif dan ketiga cinta kritis. Cinta mistis adalah persepsi ttg cinta yang irasional dan cenderung memberhalakan cinta seperti dibahas diawal tulisan ini. Cinta naif adalah suatu kondisi dimana manusia gagal memetakan cinta dalam dirinya sehingga tidak ada garis demarkasi antara cinta yang menindas dan cinta yang membebaskan <liberte amor="">. Cinta kritis adalah suatu persepsi cinta dimana cinta menjadi spirit untuk membebaskan dari segala macam keterkungkungan kemanusiaan misalnya kejombloan akut dan pemberhalaan cinta. Sehingga manusia bisa menjadi merdeka karena cinta, bukan kecewa karena cinta seperti didalam sebuah lagu dangdut yang menyedihkan.

Silogisme rasional
Landasan epistemologis berikutnya adalah silogisme rasional. Pengetahuan yang terbangun adalah hasil silogisme antara premis mayor dan premis minor yang menghasilkan konklusi. Adapun model yang digunakan adalah metode deduksi dan induksi. Sebagai contoh, menurut Rahul <shah rukh="" khan=""> dalam film kuch-kuch hota hai bahwa cinta adalah persahabatan. Dengan menggunakan metode deduksi kita bisa menarik pernyataan ini kewilayah yang partikular yaitu dalam keseharian kita sebagai proses pedekate terhadap calon pasangan kita.
Lain halnya dengan Pat Kay dalam film kera sakti yang selalu mengalami kesengsaraan. Beliau <kanda pat="" kay="" guru="" besar="" jomblo="" sedunia=""> mengatakan bahwa memang beginilah cinta deritanya tiada akhir, harus melawati 33 rintangan dan 99 cobaan untuk mendapatkan kitab suci kebarat bersama biksu tong. Penalaran yang digunakan adalah model induksi yang dideduksikan. Pada dasarnya premis ini muncul dari masalah besar beliau , yang kemudian dilekatkan pada seluruh pengikut beliau <jomblowan dan="" jomblowati="" sedunia="">.

Pengamatan Empirikal
Diantara landasan epistemologi yang ada, pendekatan empiris yang paling mudah. Sebagai misal, kita dapat mengamati orang yang rela berhujan-hujanan demi seseorang. Atau kita dapat berinteraksi langsung dengan orang yang rela menyisihkan uang jajannya demi membelikan coklat seseorang. Kita juga bisa melihat seseorang yang rela menjadi tukang antar undangan atau membelikan bunga. Dengan mudah kita dapat menarik kesimpulan dibalik hal itu semua. Namun perlu ditekankan disini bahwa pengamatan empirikal hanya menangkap gerak, bentuk, tekstur, suara dan hal inderawi lainnya sebagai manifestasi dari sesuatu yang abstrak yaitu cinta. Tapi kami tidak bermaksud melakukan sakralisasi terhadap cinta.

Postulat Cinta
Setelah melalui perenungan mendalam dan teliti, sampailah kami pada sebuah postulat tentang cinta. Penemuan ini sungguh mutakhir, dan kami khawatir jika tidak dipahami dengan baik dapat dipergunakan secara tidak proporsional. Betapa tidak, cinta yang sangat ekslusif dan abstrak ternyata dapat dihitung secara matematis. Harapan kami, pada penyusunan kurikulum yang akan datang, postulat cinta ini dimuat dipelajaran matematika seperti rumus lainnya.
Adapun cinta dapat dirumuskan sebagai hasil jumlah dari Idealitas <nilai idola=""> dengan Romantisme sebagai berikut


Ca = I + R

Dimana, Ca = Kualitas cinta
I = Nilai idola
R = Nilai Romantisme

Nilai Idola adalah nilai maksimum yang realistis dari idealitas terhadap lawan jenis. Dengan menggunakan skala 0-10, biasanya nilai maksimum yang realistis adalah 7-9,5, sebab yang mendapat poin sempurna hanya ada dialam ide atau kalaupun ada didunia nyata, pastilah telah menjadi istrinya orang lain.
Nilai Romantisme adalah hasil kali dari kapasitas memori dengan angka kemunculan kenangan indah. Kapasitas memori adalah kemampuan untuk mengingat detil-detil kenangan indah yang mampu menusuk sukma. Sebagai misal, seseorang yang memiliki kapasitas memori 10 Gb, berarti dalam mengenang kenangan indah, ia akan tergetar sebanyak 10 kali. Angka kemunculan adalah kuantitas munculnya kenangan indah dalam sehari. Sebagai misal, seseorang yang pura-pura menyibukkan diri dengan tugas atau organisasi atau juga olahraga, memiliki angka kemunculan kenangan indah lebih rendah dari pada orang yang kuper dan sering mengurung diri dikamar. Adapun rumusnya adalah
R = M x K
Dimana M adalah kapasitas memori dan K adalah angka kemunculan kenangan indah. Berikut ini adalah contoh soal.
T adalah seseorang yang mengalami kejombloan akut. Berdasar data yang diperoleh, maka didapatkan data-data berikut. Idealitas terhadap lawan jenis = 8,5. Kualitas memorinya adalah 9 Gb dan angka kemunculan memorinya adalah 7/hari. Maka kualitas cintanya adalah sebagai berikut
R = M x K
R = 9 x 7/hari
R = 63 poin/hari
Ca = 8,5 x 63 poin/hari
Ca = 535,5/hari

Catatan
Karena cinta juga mengalami fluktuasi seperti rupiah terhadap dollar dan juga seperti kepentingan para investor dalam melirik pasar, maka otomatis cinta pun mengalami fluktuasi. Ini berarti, kualitas cinta yang dihitung berdasarkan pada hari yang didapatkan datanya.
Dalam membahas cinta, masih ada beberapa variabel, seperti rupiah dan pasar. Jika kekuatan finansial berkurang maka otomatis mempengaruhi daya cinta dalam melakukan pedekate. Pun juga pasaran cinta, disini berlaku hukum keseimbangan pasar yakni supply n demand seperti yang dikemukakan adam smith dalam teori ekonomi makro. Semoga dilain kesempatan kami dapat membahas tentang hukum ekonomi cinta dan manajemen cinta. Selamat bercinta
</nilai></jomblowan></kanda></shah></liberte>

Kamis, 14 Juli 2011

Akal adalah Hasil Pemikiran Manusia

Disebut mendahului kebenaran apabila pemikir telah menyimpulkan kebenaran sesuatu sedangkan ia belum sampai pada titik kesimpulan yang sesungguhnya. Hasil pemikiran seperti itu tidak boleh dijadikan hujah atau dalil dan belum boleh dikatakan sebagai akal yang benar. Hal semacam itu banyak dialami oleh manusia sehingga ia merasa bahawa hasil pemikirannya benar, padahalnya belum sampai pada titik kebenaran, tetapi baru sampai pada tingkat bayang-bayang kebenaran. Memang ia seperti benar, tetapi tidak benar dan hanya mirip benar atau benar menurut dugaannya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an Surah al-Kahfi ayat 103-104: Bermaksud:"Katakanlah; Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?. Iaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (menyangka diri mereka benar)."

Adapun yang dimaksudkan dengan membelakangi kebenaran adalah suatu pemikiran itu telah sampai pada kesimpulan yang haq(benar) tetapi penyimpul itu melecehkan kebenaran.

Selanjutnya hasil pemikiran yang mendahului kebenaran itu masuk dalam klasifikasi kebodohan (jahil), sedangkan hasil pemikiran yang membelakangi kebenaran itu termasuk dalam klasifikasi pengingkaran (kufur). Menurut tinjauan al-Qur'an akal adalah hujah atau dengan kata lain merupakan anugerah Allah SWT yang cukup hebat yang dengannya manusia dibezakan dari makhluk lain. Akal juga merupakan alat yang dapat menyampaikan kebenaran dan sekaligus sebagai pembukti dan pembeza yang haq (kebenaran) dan yang batil serta apa yang ditemukannya dapat dipastikan kebenarannya asalkan persyaratan-persyaratan fungsi kerjanya dikawal dan tidak diabaikan.

Marilah kita perhatikan dalil-dalil dari al-Qur'an sebagai bukti ucapan di atas:

1. al-Qur'an mengajak manusia untuk berfikir menggunakan akalnya sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Anfal: 22, yang berbunyi:

"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekal dan tuli (maksudnya manusia yang paling buruk di sisi Allah ialah yang tidak mahu mendengar, menuturkan dan memahami kebenaran) yang tidak mengerti apapun."

Surah Yunus: 100, yang berbunyi:

"Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya."

2. Mengambil manfaat atau kesimpulan dari hukum sebab-akibat yang mana hukum sebab-akibat itu harus didasari dengan pemikiran (menggunakan akal). Al-Qur'an Surah Al-Ra'd: 11, yang berbunyi:

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka dan dibelakangnya mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Allah SWT)."

3. Al-Qur'an mengajak kaum Muslimin untuk mempelajari sejarah umat-umat terdahulu dan mengambil suatu iktibar darinya serta merenungkan nasib yang menimpa mereka. Hal ini menunjukkan pengertian yang jelas bahawa nasib yang menimpa mereka itu mempunyai hukum sebab-akibat tidak terjadi secara kebetulan. Kalau tidak demikian (tidak berdasarkan sebab-akibat) maka perintah Allah SWT tidak ada manfaatnya. Al-Qur'an Surah al- Hajj: 45-46, berbunyi:

"Berapa banyaknya kota yang telah kami binasakan, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap- atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Kerana sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang di dalamnya dada."

4. Falsafah hukum-hukum (penjelasan hukum-hukum berdasarkan pemikiran dengan menggunakan akal) yang banyak terdapat di dalam al-Qur'an menunjukkan bahawa al-Qur'an itu adalah "Hujjah." Al-Qur'an Surah al-Ankabut: 45, yang bermaksud:

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, iaitu al-Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah solat. Sesungguhnya solat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah (solat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Al-Qur'an Surah al-Baqarah: 183, yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa."



Ruang Lingkup Kerja Akal Apabila perbahasan tentang hal-hal yang menyebabkan kesalahan kerja akal telah kita fahami iaitu 5 faktor yang menyebabkan seseorang itu gagal dalam mencari dan menemukan kebenaran tentang Allah SWT, ciptaanNya, para Nabi dan Rasul, imam-imam yang diutuskanNya serta ajaran- ajaran yang dibawa oleh mereka, maka selanjutnya kita membahas bagaimana al-Qur'an menunjukkan objek-objek harian yang dengan mudah dapat membimbing manusia kepada satu titik terang yang pasti iaitu iman. Objek-objek yang disajikan al-Qur'an kepada kita adalah sebagai:

1. Alam dengan segala fenomenanya

Melalui jalan pemerhatian pancaindera dan kajian (tajribah wal-mulahadhoh, manusia dapat mengenal Pencipta. Dengan kata lain berpindah dari menyaksikan alam yang syuhud (alam nyata) kepada usaha pemikiran hingga dapat membuktikan keberadaan Zat yang Ghaib iaitu Allah SWT. Al- Qur'an Surah Yunus: 101 menyatakan yang bermaksud:

"Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman."

2. Pengkajian Sejarah

Dengan melihat peristiwa-peristiwa masa lalu iaitu akibat dari orang-orang yang mendustakan Rasul-rasul maka kita dapat mengambil iktibar untuk menentukan sikap kita pada masa kini dan masa depan. Lihat Surah Ali-Imran: 137, yang bermaksud:

"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunah Allah (yang dimaksudkan sunnah Allah disini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul) kerana itu berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang yang mendustakan (Rasul-rasul)."

3. Jiwa Manusia.

Merenung diri sendiri adalah satu cara efektif yang dapat membawa manusia mengenal Penciptanya. Dengan kata lain apabila manusia mengenal dirinya sendiri pasti ia akan mengenal Tuhannya. Al-Qur'an Surah Fushilat: 53, menerangkan yang bermaksud:

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala penjuru dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahawa al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahawa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu."

TUGAS AKAL DALAM MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

           Akal memainkan peran penting dalam membatasi dan mengendalikan hawa nafsu manusia. Ia juga berperan membantu manusia agar tidak selalu memenuhi segala ajakan hawa nafsunya. Kata Aql atau aqqal dalam bahasa arab mempunyai arti atau ‘ikatan’ dan ‘pembatasan’. Dan begitulah peran yang harus diambil dalam menghadapi hawa nafsu manusia. Pengertian ini telah disinyalir dari hadith Rasulullah Saww sebagai berikut:

Sesungguhnya akal merupakan pengikat kebodohan. Sedang nafsu bak bintang yang sangat buas.[bihar ul anwar 1:117]

Imam Ali bin Abi Thalib as : ·       Pikiran mu akan menunjukkan pada jalan yang rasyad. [Ghirarul Hikam, karya al amudi 2:58] ·       Jiwa memendam berbagai hasrat hawa nafsu. Dan akal yang bertugas melarang dan mencegahnya. [Tuhaful Uqul, 96] ·       Jiwa itu liar. Dan tangan-tangan akal lah yang akan memegang kekangnya. [Ghurarul Hikam, karya al-amudi 2:121] ·       Hati memendam berbagai hasrat jahat dan akallah yang mencegahnya. [Ghurarul Hikam, karya al-amudi 1:109] ·       Buah akal ialah benci duniadan mengekang hawa nafsu. [Ghurarul Hikam, karya al-amudi 1:323] Peran yang dimainkan akal dalam kehidupan manusia ialah menahan dan membatasi gerak laju hawa nafsu serta mencegah sikap ekstremis dalam memenuhi segala tuntutan hawa nafsu. Besar kesempurnaan dan kekuatan akal. Sebesar taufik yang dimiliki manusia dalam mengendalikan gerak hawa nafsu.

Imam Ali as berkata: Akal yang sempurna akan mencegah tabiat jelek. [Bihar ul anwar 78:9]

Artinya, menahan dan menundukkan hawa nafsu merupakan tanda sehatnya akal.

Imam Ali as berkata: ·       Peliharalah akal dengan menentang hawa nafsu dan menjauhkan diri dari dunia [Ghurar ul Hikam, karya al amudi 1:345] ·       Akal (yang sebenarnya) ialah yang menentang hawa nafsu. [ Bihar ul Anwar 78:164] ·       Barang siapa yang menjauhi hawa nafsunya maka akan selamat/sehat akalnya. [Bihar ul Anwar 1:160] Akal dan hawa nafsu sama-sama berperan vital dalam hidup manusia. Hawa nafsu memotori siklus hidup manusia, sedang akal berperanan sensitif dalam membatasi, mengendalikan serta mencegah hegemoni dan perusakan hawa nafsu atas totalitas manusia. Tugas agama sama dengan tugas akal dalam membatasi hawa nafsu dan mengendalikan tindakan-tindakannya yang semena-mena. Visi kerja akal dan agama sangat bersesuaian. Karena agama adalah fitrah. Allah berfirman: “... ... ( tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus...” [Q.S. Rum 30] Fitrah, yang menguasai manusia dan sepenuhnya di terima akal itu adalah agama Allah yang dijadikan-Nya sebagai petunjuk bagi manusia. Maka dari itu, agama menopang peranan akal dalam mengendalikan hawa nafsu. Dilain pihak agama memerankan akal dalam mengendalikan hawa nafsu. Sesungguhnya, akal dan agama ialah dua sisi dari satu mata uang.

Imam Ali as berkata: “Akal adalah syariat dalam (internal) dan syariat adalah akal luar (eksternal).” [kitab al-syab, karya syaikh muhammad taqi al-falsafi 1:365]

Imam Musa bin Ja’far as: “Sungguh Allah mempunyai dua hujjah atas manusia; hujjah dhair dan bathin. Adapun hujjah yang tampak ialah para rasul a.s , nabi a.s , dan imam a.s, sedangkan hujjah yang tersembunyi adalah akal.” [ Bihar ul anwar, 1:137 ]

Dari Imam Shadiq as: “Hujjah Allah atas para hamba-Nya ialah Nabi. Dan hujjah antara para hamba dan Allah adalah akal.”

TIGA PERAN AKAL
  1. Mengenal Allah Ta’ala, ialah pangkal dan titik tolak tugas akal.
  2. Ketaatan mutlak kepada segala perintah Allah Ta’ala. Mengenal rububiyah Allah dengan baik akan menghasilkan ketaatan dan ‘ubudiyah.
  3. Takwa kepada Allah Ta’ala, yang merupakan sisi lain deri ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah mempunyai dua sisi:
    • melaksanakan kewajiban
    • mencegah diri dari keharaman
Takwa adalah mencegah jiwa dari hal ikhwal yang diharamkan. Rasulullah bersabda: “Akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barang siapa yang menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak dia tidaklah berakal.” 1.     Makrifat yang benar tentang Allah Ta’ala 2.     Ketaatan yang mutlak kepada Allah Ta’ala 3.     Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya

[ Bihar Ul Anwar 1:106 ]